Tua reta loù
Taktik mengintai musuh ala orang Hewokloang
Oleh, Roby Kristian
Tua reta loù
adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari kampung Hewokloang-Seusina raya, meliputi kampung Hewokloang, He’o, dan Kewa-Kabupaten Sikka.
Tarian ini melambangkan jiwa ksatria dan mental pahlawan masyarakat “Hewokloang
kuno”. Tarian ini umumnya dibawakan oleh penari pria dan wanita dengan
mengenakan busana perang ala orang Hewokloang –busana ragi gaing-. Diantara
sekian banyaknya penari, ada satu orang penari pria yang dinilai paling kuat
fisiknya dan dianggap paling “jago” untuk memanjat dan merebahkan dirinya
diatas bambu dengan ukuran tingginya tujuh sampai Sembilan ruas. Tarian ini
biasanya dipentaskan oleh orang Hewokloang dalam berbagai acara adat kematian,
maupun festival kebudayaan.
Tarian
ini awalnya dipentaskan oleh masyarakat tana
uta Hewokloang, khususnya panglima perang dan para prajurutnya setelah
pulang dari medan pertempuran. Berdasarkan sejarah lisan yang dituturkan,
Hewokloang pada zaman dahulu sering berperang dengan suku/kampung tetangga.
Perang yang sangat terkenal dan masih menjadi cerita turun temurun adalah nuhu
Rohe (perang dengan orang dari kampung Rohe).
Setiap
pulang dari medan perang, masyarakat Hewokloang merayakan kemenangan, artinya
mereka bangga karena telah berhasil melumpuhkan kekuatan lawan. Awal mulanya tua reta loù dipertunjukan ketika para
ksatria dan panglima perang kembali dari medan pertempuran. Karena saking
bahagianya kemenangan itupun dirayakan dengan pesta pora “blebuk-gewong”, yang artinya kemeriahan pesta dengan musik dan
tarian. Salah seorang prajurit perang secara spontan mendemonstrasikan segala
macam gaya gerak dan taktik saat mereka berhadapan langsung dengan musuh
dimedan perang.
Tarian
tua reta lou menjadi gambaran singkat
dimana seorang prajurit yang paling tangguh mempertontonkan kepada rakyat cara
untuk mengintai musuh dari atas ketinggian. Pada intinya, bambu menjadi salah
satu properti paling penting dalam tarian karena bambu menggambarkan tempat
yang tinggi. Ilustrasi singkat pun dilakukan, mereka membayangkan segala macam
situasi yang mereka alami ketika bergulat dengan musuh di area peperangan.
Ketika mereka berada dalam medan pertempuran, para prajurit ini biasanya naik
keatas pohon yang sangat tinggi, tidak bercabang dan susah dijangkau oleh
lawan. Tujuannya naik keatas pohon, sebagai tempat persembunyian juga sebagai
tempat untuk memantau pergerakan lawan. Diatas pohon mereka dapat melihat kesegala
sisi. Ketika ada musuh yang mendekat atau berjalan kearah mereka, mereka dengan
sigap mempersiapkan peralatan perangnya. Tak jarang pula, musuh datang mendekat
bahkan persis berdiri dibawah pohon. Hal ini tentunya menjadi kesempatan emas
bagi prajurit Hewokloang yang saat itu haus akan darah, mereka dengan secepat
kilat menarik busurnya, diarahkan kesasaran, anak panah pun dihempas dengan
bidikan mengenai target.
Menjadi
suatu kebanggan yang sangat luar biasa apabila sang lawan tewas ditempat,
lantas sang prajurit Hewokloang pun dengan perkasa meneriakan semboyan
kesaktiannya. “Aù oa ‘etan inu mein, oa
atang inu Klirang”, yang berarti aku menyantap dagingmu, aku meneguk
darahmu, akan kujadikan ini kisahku dan kubawakan dalam sejarah untuk anak
cucuku. Ketika perang berakhir para prajurit pun pulang ke kampung Hewokloang,
mereka tak segan membawa serta beberapa organ tubuh penting dari sang lawan
yang telah tewas ditangannya. Organ tubuh lawan yang mereka bawa pulang akan
menjadi bukti bahwa mereka berhasil menewaskan salah satu dari sekian banyak
lawan yang mereka hadapi.