Sabtu, 26 Mei 2018

LODO HU'ER DAN PA'AT KRUS


Diskusi “Ruang Antara” Lodo Hu’er dan Pa’at Krus Dalam Konteks Gereja Lokal

0leh : Roby Kristian 



Ami lor nora koli wojong, poto leu miu wawa lian leman, Iana miu lema reta ulu wali higun, reta watu mahang meran, Iana ami gea dena piong minu dena tewok, Leda leu miu reta garan gahar dena miu teleng tion.
Ami nilo beli miu nora urun blon, wawa dan laban lima,Iana miu leuk lau man lema, hetok lau man mobo mo’ong, Tali lopa dagir wain, karang lopa kaet alan,Watu hidi di due hele, hele mole naha due leder wi’in Ai pok di naha gera mebang, mebang naha gera ewang.
Ami kusang beli miu nora lamin bura reta waen, Dena hulung miu lopa du’ur ganu dudu, Ami etung beli miu nora kabor elur, Dena miu lopa ilur meti man marak.
Ami du’un leu miu nora wain, Iana tawu miun poto soge di bitak, Ami eban leu miu nora liman, Iana huru korak ladon sikon sakok di pu’ur, Dena miu pot lau man lema reta une, lau nitu lepo unen, Hetok lau man mobo mo’ong, lau noan woga wutun, Lau man liting gi’it l’ler mangan, lau nitu natar, Lau tana noang kloang, lau ma bola ai ojan, Nitu lau huler unen, noan lau kloang wutun, Meluk man ganu wair matan, den ganu lengi petin.
Raik luat rema rua, amiata loen moret mata naran, Hulir leu miu ata loen watu wan tana, Miu lopa rudu ami wi jung tura ami golot, Mai tutur ami nora mipin kiring epan, blawong hagong wohon.[1]

Lodo huer atau meluk wair den lengi merupakan sebuah upacara yang diperuntukan bagi arwah anggota keluarga yang telah meninggal. Kami percaya bahwa orang yang diritualkan dalam upacara ini akan mendapatkan tempat terindah di alam kekal. Ritual lodo huer hanya dapat ditemukan dibeberapa etnis di Kabupaten Sikka, tidak semua orang Krowe di kabupaten Sikka melaksanakan tradisi ini. Hanya orang Hewokloang yang menyelenggarakan pesta lodo hu’er. Lodo huer merupakan upacara yang sangat istimewah, melibatkan seluruh anggota keluarga besar suku dan masyarakat sekitar.
Berdasarkan akar kata, lodo berasal dari kata lodon artinya menluruhkan, menjatuhkan sesuatu dari atas rumah panggung melalui lubang pada sekitar lantai rumah itu. Sedangkan huer artinya, meluputkan dan menyelamatkan. Maka dari itu dapat disimpulkan lodo hu’er dapat dimengerti sebagai sebuah tindakan memberikan persembahan kepada wujud tertinggi agar Ia memberikan keselamatan bagi arwah anggota keluarga yang telah meninggal.
Lodo huer pada dasarnya merupakan cara pandang manusia hidup yang memahami esensi kematian itu, manusia yang hidup percaya bahwa, setelah kematian mereka belum sepenuhnya merasakan kebahagiaan abadi, mereka belum diluputkan dari belenggu kematian, jiwanya masih melayang-layang karena belum ada tempat untuk menetap. Tempat itu adalah nitu huler unen, noan kloang puat yang merupakan tempat berkumpulnya arwah yang telah diluputkan melalui lodo huer.
Adapun penyebutan lain dari pada kata lodo hu’er yakni meluk wair den lengi. Antara kedua penyebutan ini kurang lebih memiliki subtansi yang sama yakni, ritus menyucikan arwah. Hanya saja pada penyebutan meluk wair den lengi lebih secara eksplisit menekankan materi-materi yang digunakan dalam ritus menyucikan arwah.[2]

Pada tahun 1938 Paroki MBC Watublapi berdiri dibawah kepemimpinan Pater Hooiveld, SVD, yang kerap dikenal dengan panggilan Tuan Hoipel. Masyarakat Watublapi, dan Hemente Hewokloang dibaptis dan sah menjadi warga Gereja Katolik. Belum diketahui secara pasti pada tahun berapa tradisi Lodo huěr ini berakulturasi dengan ajaran Gereja Katolik, dimana penanaman salib menjadi puncak dari acara lodo huěr. Lodo huěr, meluk wair den lengi kini tidak terpisahkan dari upacara Misa nara krus dan paât krus. Ada hal pokok yang menjadi alasan mendasar sehingga puncak lodo huer ditandai dengan penanaman salib. Hal itu merupakan sumbangsih pemikiran Moân Tuan Hoipel sehingga kesakralan lodo huěr menjadi lebih mulia lagi jika diakhiri dengan salib sebagai tanda kemenangan Kristus.

Yang kita lihat dan kita ketahui, pada umumnya setelah dimakamkan Salib biasanya langsung ditanam diatas pusara, atau lazimnya Salib ditanam tiga hari atau satu minggu setelah dimakamkan. Berbeda dengan orang Hewokloang, ketika meninggal makamnya belum boleh ditanami salib. Salib akan ditanam pada makam ketika telah melalui upacara lodo huer-meluk wair den lengi. Jadi, dibayangkan saja jika selama duapuluh tahun belum dilakukan upacara lodo huer untuk keselamatan arwah, maka selama itu pula makamnya masih belum ditanami salib.
Keesokan harinya, usai malam nara Krus, salib akan ditanam pada bagian atas (kepala) makam. Pakaian kebesaran dan segala perlengkapan yang dikenakan semalam pada salib dibuka, selanjutnya diserahkan kepada mereka yang berhak yakni pihak ina wine, me pu. Setelah upacara serah terima patan krus, salib kemudian ditancapkan diatas makam.
Salib dalam ajaran Kristen telah berpadu dengan upacara lodo huěr dalam ajaran agama lokal dan tradisi orang Hewokloang. Salib diyakini sebagai lambang kemenangan bagi orang Kristen; salib membawa terang dan dipercaya sebagai jalan menghantar arwah menuju kehidupan yang kekal. Salib sebagai bukti bahwa mereka (arwah) telah bersekutu dengan Sang Juru Selamat dan para kudus di Surga.
Dari seluruh rangkaian upacara lodo huěr terdapat dua sudut pandang yang dapat kita temukan, yakni meluk wair den lengi yang menjadi inti upacara Lodo huer dalam pandangan agama lokal, dan Krus (salib) yang menjadi inti atau dasar lodo huer dalam pandangan gereja Katolik. Dalam mana Gereja memandang salib sebagai tanda kemenangan yang telah meluputkan roh dalam belenggu kesengsaraan dan kegelapan.


[1] Sastra lisan yang mengisahkan perjalanan arwah dari alam kegelapan menuju alam kebahagiaan kekal. syair: Bapak Rupus, tokoh adat Hewokloang.
[2] Refleksi pribadi penulis.