Diskusi “Ruang Antara” Lodo Hu’er dan Pa’at Krus Dalam Konteks Gereja Lokal
0leh : Roby Kristian
0leh : Roby Kristian
Ami
lor nora koli wojong, poto leu miu wawa lian leman, Iana miu lema reta ulu wali
higun, reta watu mahang meran, Iana ami gea dena piong minu dena tewok, Leda
leu miu reta garan gahar dena miu
teleng tion.
Ami
nilo beli miu nora urun blon, wawa dan laban lima,Iana miu leuk lau man lema,
hetok lau man mobo mo’ong, Tali lopa dagir wain, karang lopa kaet alan,Watu
hidi di due hele, hele mole naha due leder wi’in Ai pok di naha gera mebang,
mebang naha gera ewang.
Ami
kusang beli miu nora lamin bura reta waen, Dena hulung miu lopa du’ur ganu
dudu, Ami etung beli miu nora kabor elur, Dena miu lopa ilur meti man marak.
Ami
du’un leu miu nora wain, Iana tawu miun poto soge di bitak, Ami eban leu miu
nora liman, Iana huru korak ladon sikon sakok di pu’ur, Dena miu pot lau man lema
reta une, lau nitu lepo unen, Hetok lau man mobo mo’ong, lau noan woga wutun, Lau
man liting gi’it l’ler mangan, lau nitu natar, Lau tana noang kloang, lau ma
bola ai ojan, Nitu lau huler unen, noan lau kloang wutun, Meluk man ganu wair
matan, den ganu lengi petin.
Raik
luat rema rua, amiata loen moret mata naran, Hulir leu miu ata loen watu wan
tana, Miu lopa rudu ami wi jung tura ami golot, Mai tutur ami nora mipin kiring
epan, blawong hagong wohon.[1]
Lodo huer
atau meluk wair den lengi merupakan
sebuah upacara yang diperuntukan bagi arwah anggota keluarga yang telah
meninggal. Kami percaya bahwa orang yang diritualkan dalam upacara ini akan
mendapatkan tempat terindah di alam kekal. Ritual lodo huer hanya dapat ditemukan dibeberapa etnis di Kabupaten
Sikka, tidak semua orang Krowe di kabupaten Sikka melaksanakan tradisi ini. Hanya orang Hewokloang yang
menyelenggarakan pesta lodo hu’er.
Lodo huer
merupakan upacara yang sangat istimewah, melibatkan seluruh anggota keluarga
besar suku dan masyarakat sekitar.
Berdasarkan
akar kata, lodo berasal dari kata lodon artinya menluruhkan, menjatuhkan
sesuatu dari atas rumah panggung melalui lubang pada sekitar lantai rumah itu.
Sedangkan hu’er
artinya, meluputkan dan menyelamatkan. Maka dari itu dapat disimpulkan lodo
hu’er dapat dimengerti sebagai sebuah tindakan memberikan persembahan kepada
wujud tertinggi agar Ia memberikan keselamatan bagi arwah anggota keluarga yang
telah meninggal.
Lodo huer
pada dasarnya merupakan cara pandang manusia hidup yang memahami esensi
kematian itu, manusia yang hidup percaya bahwa, setelah kematian mereka belum
sepenuhnya merasakan kebahagiaan abadi, mereka belum diluputkan dari belenggu
kematian, jiwanya masih melayang-layang karena belum ada tempat untuk menetap.
Tempat itu adalah nitu huler unen, noan
kloang puat yang merupakan tempat
berkumpulnya arwah yang telah diluputkan melalui lodo huer.
Adapun penyebutan lain dari pada kata lodo hu’er yakni meluk wair den lengi. Antara kedua penyebutan ini kurang lebih
memiliki subtansi yang sama yakni, ritus menyucikan arwah. Hanya saja pada
penyebutan meluk wair den lengi lebih
secara eksplisit menekankan materi-materi yang digunakan dalam ritus menyucikan
arwah.[2]
Pada
tahun 1938 Paroki
MBC Watublapi berdiri dibawah kepemimpinan Pater Hooiveld, SVD, yang kerap
dikenal dengan panggilan Tuan Hoipel.
Masyarakat Watublapi, dan Hemente
Hewokloang dibaptis dan sah menjadi warga Gereja Katolik. Belum diketahui secara
pasti pada tahun berapa
tradisi Lodo huěr ini berakulturasi dengan
ajaran Gereja
Katolik, dimana penanaman salib menjadi puncak dari acara lodo huěr. Lodo huěr, meluk
wair den lengi kini tidak terpisahkan dari upacara Misa nara
krus dan paât krus. Ada hal pokok yang menjadi alasan mendasar
sehingga puncak lodo huer ditandai
dengan penanaman salib. Hal itu
merupakan sumbangsih pemikiran Moân Tuan Hoipel
sehingga kesakralan lodo huěr menjadi
lebih mulia lagi jika diakhiri dengan salib sebagai tanda kemenangan Kristus.
Yang
kita lihat dan kita ketahui, pada umumnya setelah dimakamkan Salib biasanya langsung ditanam diatas
pusara, atau lazimnya Salib
ditanam tiga hari atau satu minggu setelah dimakamkan. Berbeda dengan orang
Hewokloang, ketika meninggal makamnya belum boleh ditanami salib. Salib akan
ditanam pada makam ketika telah melalui upacara lodo huer-meluk wair den lengi. Jadi, dibayangkan saja jika selama
duapuluh tahun belum dilakukan upacara lodo
huer untuk keselamatan arwah, maka selama itu pula makamnya masih belum ditanami
salib.
Keesokan
harinya, usai malam nara Krus,
salib akan ditanam pada bagian atas (kepala) makam. Pakaian kebesaran dan
segala perlengkapan yang dikenakan semalam pada salib dibuka, selanjutnya diserahkan kepada mereka
yang berhak yakni pihak ina wine, me pu.
Setelah upacara serah terima patan krus,
salib kemudian ditancapkan diatas makam.
Salib
dalam ajaran Kristen telah berpadu dengan upacara lodo huěr dalam ajaran agama lokal dan tradisi orang Hewokloang.
Salib diyakini sebagai lambang kemenangan bagi orang Kristen; salib membawa
terang dan dipercaya sebagai jalan menghantar arwah menuju kehidupan yang
kekal. Salib sebagai bukti bahwa mereka (arwah) telah bersekutu dengan Sang
Juru Selamat dan para kudus di Surga.
Dari
seluruh rangkaian upacara lodo huěr
terdapat dua sudut pandang yang dapat kita temukan, yakni meluk wair den lengi yang menjadi inti upacara Lodo huer dalam pandangan agama lokal, dan Krus (salib) yang
menjadi inti atau dasar lodo huer
dalam pandangan gereja Katolik. Dalam mana Gereja memandang salib sebagai tanda
kemenangan yang telah meluputkan roh dalam belenggu kesengsaraan dan kegelapan.
[1] Sastra lisan yang mengisahkan perjalanan
arwah dari alam kegelapan menuju alam kebahagiaan kekal. syair: Bapak Rupus, tokoh adat Hewokloang.
[2] Refleksi pribadi penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar