Noru
Lorun
di Tanah Rantau
Oleh : Roby Kristian
![]() |
(mama Martha sedang menenun kain sarung laki-laki) |
Tautata,
utauta, tautatau !!
![]() |
Kristina Martha (60 thn) |
Inilah
ungkapan tanpa makna yang mewakili sebuah rasa kagum akan kepandaian dan
kelihaian seorang wanita dalam proses tenun ikat. Ketrampilan menenun adalah
suatu pekerjaan wajib, sebagai seorang wanita, dan calon ibu rumah tangga. Dari
kualitas tenunan itulah, yang menjunjung harga diri dan harkat martabat sebagai
seorang wanita. Wanita remaja yang beranjak dewasa harus berusaha mencintai,
lalu menekuni ketrampilan Loru-Rana (menenun dan menganyam), dari sinilah
seorang perempuan maumere mendapat pengakuan sosial dan moral. Wanita Maumere
yang pandai menenun akan menjadi wanita primadona pujian dan rebutan para pria
punjaga kampung. Adapun mereka (para pria) yang tak segan-segan memuji sang
wanita sembari berdendang : tuùn tunger
daân dadin, taduk tour higo hagong, hagong wawa temo ‘wau.
Adalah
seorang wanita dengan nama lahir Kristina Martha Mana, ia adalah sosok wanita
tangguh yang sangat mencintai ketrampilan tenun menenun. Martha kecil kala itu,
usai pulang sekolah mencari pelepah pinang untuk dijadikan
mainan(tenun-tenunan), beranjak remaja ia pun mencoba untuk menenun secara
sungguh-sungguh, pada akhirnya menjadi profesi. Mama Martha menghabiskan
waktunya untuk menenun dirumahnya, Watublapi. Wanita empat anak ini, bergabung
dengan sanggar Bliransina yang waktu itu baru seumur jagung. Dibawah kolong
rumahnya (orin lěwun) ia menekuni ketrampilan--Noru Lorun--ini. Bukan hanya menenun saja, ia juga lihai menari gong
waning dengan gaya gerak khas. Satu hal yang saya tidak lupa darinya adalah pintar
masak, rasanya unik, dan sangat lezat jika sudah disentuh oleh tangan Mama
Martha.
Pada
tahun 2001, Mama ini meninggalkan kampung Watublapi dan menetap di Desa Wairbleler,
Waigete. Disanapun ia tetap menekuni pekerjaan tenun-ikat. Sepeninggalan suami
tercinta, pada tahun 2006, wanita paruh baya ini membulatkan tekad untuk ikut
dan menetap bersama putranya di Fak-Fak, Papua pada tahun 2008. Sudah saya
katakana bahwa Martha sangat mencintai Tenun Ikat, bahkan, alat
tenun-menenun dibawa serta naik kekapal menuju Tanah berlapis emas itu(papua).
Disana ia menenun dengan menggunakan benang jahit, karena benang khusus tenun
tidak dijual. Jikalau ada sanak saudara yang hendak pulang ke Maumere, ia hanya
minta untuk belikan benang khusus tenun. Nenek cantik ini pun pernah diundang
oleh Bupati di kabupaten itu untuk mendemonstrasikan cara menenun, hasil
tenunanya pun raup diincar para pembeli. Kisah cinta Martha dan alat tenun
tidak berakhir di tanah Papua, tahun 2014, bulan agustus, wanita 60 tahun ini
pindah ke provinsi Jambi. Takterelakan, alat tenunnya dibawa serta juga,
katanya ini hanya terdiri dari beberapa poyong kayu, yang mungkin bagi kalian tidak ada artinya, tapi bagi saya inilah
jantung hati dan belahan jiwa saya.
Martha menghabiskan masa tua dikediamannya
dengan melakukan beberapa aktivitas ringan, menenun dijadikan hobi yang mungkin
mengusir suntuknya hidup yang beriringan dengan hirukpikuk perkotaan. Baginya,
menenun adalah kegiatan yang memberi warna tersendiri, menenun memberikan
ketenangan jiwa, melatih ketelitian dan sebagai salah satu media refresing. zaman sekarang, apakah masih ada wanita muda yang mau dan berusaha mempertahankan warisan berharga ini ? ayo, wanita-wanita Maumere, belajarlah menenun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar