Minggu, 25 Agustus 2019

"Tua reta loù" Taktik mengintai musuh ala orang Hewokloang


Tua reta loù
Taktik mengintai musuh ala orang Hewokloang

Oleh, Roby Kristian

(Foto : Tarian Tua Reta Lo'u Sanggar Doka Tawa Tana)

Tua reta loù adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari kampung Hewokloang-Seusina raya, meliputi kampung Hewokloang, He’o, dan Kewa-Kabupaten Sikka. Tarian ini melambangkan jiwa ksatria dan mental pahlawan masyarakat “Hewokloang kuno”. Tarian ini umumnya dibawakan oleh penari pria dan wanita dengan mengenakan busana perang ala orang Hewokloang –busana ragi gaing-. Diantara sekian banyaknya penari, ada satu orang penari pria yang dinilai paling kuat fisiknya dan dianggap paling “jago” untuk memanjat dan merebahkan dirinya diatas bambu dengan ukuran tingginya tujuh sampai Sembilan ruas. Tarian ini biasanya dipentaskan oleh orang Hewokloang dalam berbagai acara adat kematian, maupun festival kebudayaan.

Tarian ini awalnya dipentaskan oleh masyarakat tana uta Hewokloang, khususnya panglima perang dan para prajurutnya setelah pulang dari medan pertempuran. Berdasarkan sejarah lisan yang dituturkan, Hewokloang pada zaman dahulu sering berperang dengan suku/kampung tetangga. Perang yang sangat terkenal dan masih menjadi cerita turun temurun adalah nuhu Rohe (perang dengan orang dari kampung Rohe).

Setiap pulang dari medan perang, masyarakat Hewokloang merayakan kemenangan, artinya mereka bangga karena telah berhasil melumpuhkan kekuatan lawan. Awal mulanya tua reta loù dipertunjukan ketika para ksatria dan panglima perang kembali dari medan pertempuran. Karena saking bahagianya kemenangan itupun dirayakan dengan pesta pora “blebuk-gewong”, yang artinya kemeriahan pesta dengan musik dan tarian. Salah seorang prajurit perang secara spontan mendemonstrasikan segala macam gaya gerak dan taktik saat mereka berhadapan langsung dengan musuh dimedan perang.

Tarian tua reta lou menjadi gambaran singkat dimana seorang prajurit yang paling tangguh mempertontonkan kepada rakyat cara untuk mengintai musuh dari atas ketinggian. Pada intinya, bambu menjadi salah satu properti paling penting dalam tarian karena bambu menggambarkan tempat yang tinggi. Ilustrasi singkat pun dilakukan, mereka membayangkan segala macam situasi yang mereka alami ketika bergulat dengan musuh di area peperangan. Ketika mereka berada dalam medan pertempuran, para prajurit ini biasanya naik keatas pohon yang sangat tinggi, tidak bercabang dan susah dijangkau oleh lawan. Tujuannya naik keatas pohon, sebagai tempat persembunyian juga sebagai tempat untuk memantau pergerakan lawan. Diatas pohon mereka dapat melihat kesegala sisi. Ketika ada musuh yang mendekat atau berjalan kearah mereka, mereka dengan sigap mempersiapkan peralatan perangnya. Tak jarang pula, musuh datang mendekat bahkan persis berdiri dibawah pohon. Hal ini tentunya menjadi kesempatan emas bagi prajurit Hewokloang yang saat itu haus akan darah, mereka dengan secepat kilat menarik busurnya, diarahkan kesasaran, anak panah pun dihempas dengan bidikan mengenai target.

Menjadi suatu kebanggan yang sangat luar biasa apabila sang lawan tewas ditempat, lantas sang prajurit Hewokloang pun dengan perkasa meneriakan semboyan kesaktiannya. “Aù oa ‘etan inu mein, oa atang inu Klirang”, yang berarti aku menyantap dagingmu, aku meneguk darahmu, akan kujadikan ini kisahku dan kubawakan dalam sejarah untuk anak cucuku. Ketika perang berakhir para prajurit pun pulang ke kampung Hewokloang, mereka tak segan membawa serta beberapa organ tubuh penting dari sang lawan yang telah tewas ditangannya. Organ tubuh lawan yang mereka bawa pulang akan menjadi bukti bahwa mereka berhasil menewaskan salah satu dari sekian banyak lawan yang mereka hadapi.

Sabtu, 26 Mei 2018

LODO HU'ER DAN PA'AT KRUS


Diskusi “Ruang Antara” Lodo Hu’er dan Pa’at Krus Dalam Konteks Gereja Lokal

0leh : Roby Kristian 



Ami lor nora koli wojong, poto leu miu wawa lian leman, Iana miu lema reta ulu wali higun, reta watu mahang meran, Iana ami gea dena piong minu dena tewok, Leda leu miu reta garan gahar dena miu teleng tion.
Ami nilo beli miu nora urun blon, wawa dan laban lima,Iana miu leuk lau man lema, hetok lau man mobo mo’ong, Tali lopa dagir wain, karang lopa kaet alan,Watu hidi di due hele, hele mole naha due leder wi’in Ai pok di naha gera mebang, mebang naha gera ewang.
Ami kusang beli miu nora lamin bura reta waen, Dena hulung miu lopa du’ur ganu dudu, Ami etung beli miu nora kabor elur, Dena miu lopa ilur meti man marak.
Ami du’un leu miu nora wain, Iana tawu miun poto soge di bitak, Ami eban leu miu nora liman, Iana huru korak ladon sikon sakok di pu’ur, Dena miu pot lau man lema reta une, lau nitu lepo unen, Hetok lau man mobo mo’ong, lau noan woga wutun, Lau man liting gi’it l’ler mangan, lau nitu natar, Lau tana noang kloang, lau ma bola ai ojan, Nitu lau huler unen, noan lau kloang wutun, Meluk man ganu wair matan, den ganu lengi petin.
Raik luat rema rua, amiata loen moret mata naran, Hulir leu miu ata loen watu wan tana, Miu lopa rudu ami wi jung tura ami golot, Mai tutur ami nora mipin kiring epan, blawong hagong wohon.[1]

Lodo huer atau meluk wair den lengi merupakan sebuah upacara yang diperuntukan bagi arwah anggota keluarga yang telah meninggal. Kami percaya bahwa orang yang diritualkan dalam upacara ini akan mendapatkan tempat terindah di alam kekal. Ritual lodo huer hanya dapat ditemukan dibeberapa etnis di Kabupaten Sikka, tidak semua orang Krowe di kabupaten Sikka melaksanakan tradisi ini. Hanya orang Hewokloang yang menyelenggarakan pesta lodo hu’er. Lodo huer merupakan upacara yang sangat istimewah, melibatkan seluruh anggota keluarga besar suku dan masyarakat sekitar.
Berdasarkan akar kata, lodo berasal dari kata lodon artinya menluruhkan, menjatuhkan sesuatu dari atas rumah panggung melalui lubang pada sekitar lantai rumah itu. Sedangkan huer artinya, meluputkan dan menyelamatkan. Maka dari itu dapat disimpulkan lodo hu’er dapat dimengerti sebagai sebuah tindakan memberikan persembahan kepada wujud tertinggi agar Ia memberikan keselamatan bagi arwah anggota keluarga yang telah meninggal.
Lodo huer pada dasarnya merupakan cara pandang manusia hidup yang memahami esensi kematian itu, manusia yang hidup percaya bahwa, setelah kematian mereka belum sepenuhnya merasakan kebahagiaan abadi, mereka belum diluputkan dari belenggu kematian, jiwanya masih melayang-layang karena belum ada tempat untuk menetap. Tempat itu adalah nitu huler unen, noan kloang puat yang merupakan tempat berkumpulnya arwah yang telah diluputkan melalui lodo huer.
Adapun penyebutan lain dari pada kata lodo hu’er yakni meluk wair den lengi. Antara kedua penyebutan ini kurang lebih memiliki subtansi yang sama yakni, ritus menyucikan arwah. Hanya saja pada penyebutan meluk wair den lengi lebih secara eksplisit menekankan materi-materi yang digunakan dalam ritus menyucikan arwah.[2]

Pada tahun 1938 Paroki MBC Watublapi berdiri dibawah kepemimpinan Pater Hooiveld, SVD, yang kerap dikenal dengan panggilan Tuan Hoipel. Masyarakat Watublapi, dan Hemente Hewokloang dibaptis dan sah menjadi warga Gereja Katolik. Belum diketahui secara pasti pada tahun berapa tradisi Lodo huěr ini berakulturasi dengan ajaran Gereja Katolik, dimana penanaman salib menjadi puncak dari acara lodo huěr. Lodo huěr, meluk wair den lengi kini tidak terpisahkan dari upacara Misa nara krus dan paât krus. Ada hal pokok yang menjadi alasan mendasar sehingga puncak lodo huer ditandai dengan penanaman salib. Hal itu merupakan sumbangsih pemikiran Moân Tuan Hoipel sehingga kesakralan lodo huěr menjadi lebih mulia lagi jika diakhiri dengan salib sebagai tanda kemenangan Kristus.

Yang kita lihat dan kita ketahui, pada umumnya setelah dimakamkan Salib biasanya langsung ditanam diatas pusara, atau lazimnya Salib ditanam tiga hari atau satu minggu setelah dimakamkan. Berbeda dengan orang Hewokloang, ketika meninggal makamnya belum boleh ditanami salib. Salib akan ditanam pada makam ketika telah melalui upacara lodo huer-meluk wair den lengi. Jadi, dibayangkan saja jika selama duapuluh tahun belum dilakukan upacara lodo huer untuk keselamatan arwah, maka selama itu pula makamnya masih belum ditanami salib.
Keesokan harinya, usai malam nara Krus, salib akan ditanam pada bagian atas (kepala) makam. Pakaian kebesaran dan segala perlengkapan yang dikenakan semalam pada salib dibuka, selanjutnya diserahkan kepada mereka yang berhak yakni pihak ina wine, me pu. Setelah upacara serah terima patan krus, salib kemudian ditancapkan diatas makam.
Salib dalam ajaran Kristen telah berpadu dengan upacara lodo huěr dalam ajaran agama lokal dan tradisi orang Hewokloang. Salib diyakini sebagai lambang kemenangan bagi orang Kristen; salib membawa terang dan dipercaya sebagai jalan menghantar arwah menuju kehidupan yang kekal. Salib sebagai bukti bahwa mereka (arwah) telah bersekutu dengan Sang Juru Selamat dan para kudus di Surga.
Dari seluruh rangkaian upacara lodo huěr terdapat dua sudut pandang yang dapat kita temukan, yakni meluk wair den lengi yang menjadi inti upacara Lodo huer dalam pandangan agama lokal, dan Krus (salib) yang menjadi inti atau dasar lodo huer dalam pandangan gereja Katolik. Dalam mana Gereja memandang salib sebagai tanda kemenangan yang telah meluputkan roh dalam belenggu kesengsaraan dan kegelapan.


[1] Sastra lisan yang mengisahkan perjalanan arwah dari alam kegelapan menuju alam kebahagiaan kekal. syair: Bapak Rupus, tokoh adat Hewokloang.
[2] Refleksi pribadi penulis.

Rabu, 04 Oktober 2017

Kisah Kristina Marta, Menenun di Tanah Rantau

Noru Lorun di Tanah Rantau

Oleh  : Roby Kristian

(mama Martha sedang menenun kain sarung laki-laki)


Tautata, utauta, tautatau !!
Kristina Martha (60 thn)
Inilah ungkapan tanpa makna yang mewakili sebuah rasa kagum akan kepandaian dan kelihaian seorang wanita dalam proses tenun ikat. Ketrampilan menenun adalah suatu pekerjaan wajib, sebagai seorang wanita, dan calon ibu rumah tangga. Dari kualitas tenunan itulah, yang menjunjung harga diri dan harkat martabat sebagai seorang wanita. Wanita remaja yang beranjak dewasa harus berusaha mencintai, lalu menekuni ketrampilan Loru-Rana (menenun dan menganyam), dari sinilah seorang perempuan maumere mendapat pengakuan sosial dan moral. Wanita Maumere yang pandai menenun akan menjadi wanita primadona pujian dan rebutan para pria punjaga kampung. Adapun mereka (para pria) yang tak segan-segan memuji sang wanita sembari berdendang : tuùn tunger daân dadin, taduk tour higo hagong, hagong wawa temo ‘wau.

Adalah seorang wanita dengan nama lahir Kristina Martha Mana, ia adalah sosok wanita tangguh yang sangat mencintai ketrampilan tenun menenun. Martha kecil kala itu, usai pulang sekolah mencari pelepah pinang untuk dijadikan mainan(tenun-tenunan), beranjak remaja ia pun mencoba untuk menenun secara sungguh-sungguh, pada akhirnya menjadi profesi. Mama Martha menghabiskan waktunya untuk menenun dirumahnya, Watublapi. Wanita empat anak ini, bergabung dengan sanggar Bliransina yang waktu itu baru seumur jagung. Dibawah kolong rumahnya (orin lěwun) ia menekuni ketrampilan--Noru Lorun--ini. Bukan hanya menenun saja, ia juga lihai menari gong waning dengan gaya gerak khas. Satu hal yang saya tidak lupa darinya adalah pintar masak, rasanya unik, dan sangat lezat jika sudah disentuh oleh tangan Mama Martha.

Pada tahun 2001, Mama ini meninggalkan kampung Watublapi dan menetap di Desa Wairbleler, Waigete. Disanapun ia tetap menekuni pekerjaan tenun-ikat. Sepeninggalan suami tercinta, pada tahun 2006, wanita paruh baya ini membulatkan tekad untuk ikut dan menetap bersama putranya di Fak-Fak, Papua pada tahun 2008. Sudah saya katakana bahwa Martha sangat mencintai Tenun Ikat, bahkan, alat tenun-menenun dibawa serta naik kekapal menuju Tanah berlapis emas itu(papua). Disana ia menenun dengan menggunakan benang jahit, karena benang khusus tenun tidak dijual. Jikalau ada sanak saudara yang hendak pulang ke Maumere, ia hanya minta untuk belikan benang khusus tenun. Nenek cantik ini pun pernah diundang oleh Bupati di kabupaten itu untuk mendemonstrasikan cara menenun, hasil tenunanya pun raup diincar para pembeli. Kisah cinta Martha dan alat tenun tidak berakhir di tanah Papua, tahun 2014, bulan agustus, wanita 60 tahun ini pindah ke provinsi Jambi. Takterelakan, alat tenunnya dibawa serta juga, katanya ini hanya terdiri dari beberapa poyong kayu, yang mungkin bagi kalian tidak ada artinya, tapi bagi saya inilah jantung hati dan belahan jiwa saya.

Martha menghabiskan masa tua dikediamannya dengan melakukan beberapa aktivitas ringan, menenun dijadikan hobi yang mungkin mengusir suntuknya hidup yang beriringan dengan hirukpikuk perkotaan. Baginya, menenun adalah kegiatan yang memberi warna tersendiri, menenun memberikan ketenangan jiwa, melatih ketelitian dan sebagai salah satu media refresing. zaman sekarang, apakah masih ada wanita muda yang mau dan berusaha mempertahankan warisan berharga ini ? ayo, wanita-wanita Maumere, belajarlah menenun.

Sejenak Menoleh, "Lopa Klibur"

Pejuang KANILIMA - Tumbal Kaum Elit

Penulis             : Roby Kristian
sumber : google, (jangan lupa)

Sejarah kelam masa lampau di Indonesia pada tahun 65-66 turut dirasakan juga oleh masyarakat Indonesia timur, termasuk di Maumere, Kabupaten Sikka. Generasi milenial mungkin kurang tahu siapa saja dan mengapa ada pembantaian pada masa 65-66 di Maumere. Sebegitu keji dan kejamnya rezim orde baru, menumpas tuntas orang-orang yang terlibat PKI, bahkan yang baru terduga-dicurigai pun dibasmi habis. Patut kita akui bahwa, masa-masa kelam(65-66) itu merupakan kisah piluh nan tragis yang mengotori wajah bangsa Indonesia dimata dunia. Bagai ditusuk duri dan diretas sembilu, ketika kembali menapak tilas sejarah masa itu, masa dimana krisis kemanusiaan terbesar pernah terjadi. Orang-orang yang tak bersalah ditumpas habis, aroma darah pun masih terhirup bahkan sampai masuk dan menusuk hati sanubari. Mereka dianggap sebagai musuh Negara yang layak disingkirkan, layak digorok, dipenggal dan layak dibantai. Tapi itulah bukti bahwa takhta kekuasaan membutakan mata hati nurani dan menggelapkan rasa belas kasih. Nyata bahwa, kekuasaan menjadi tonggak utama yang melatarbelakangi semua itu.

Adalah seorang Yohanes (Jan) Djong, yang kerap dikenal dengan panggilan akrab Moân Kapitang Djong oleh masyarakat. Ia lahir di Hewokloang, Djong kecilpun menghabiskan waktunya di kampung ini bersama ayahnya Moân Kao, dan ibunya Duâ Kotin (Katar). Ia adalah putra asli rumpun Lepo gai yang sangat disegani masyarakat pada zaman itu. Demikian pula, saudaranya, Moân Djěle, juga sangat disegani oleh karena kebijakan-kebijakannya. Moân Djěle sering diundang untuk menyajikan materi dan wejangan-wejangan atau dalam bahasa setempat disebut Nao donen, pega sang. Moân Djong adalah seorang kepala wilayah, kecamatan Kewapante, sekaligus mantan anggota DPRD(perwakilan etnis) kabupaten Sikka, pasca Indonesia merdeka. Akan tetapi, kemerdekaan hakiki belum dirasakan secara nyata oleh masyarakat kala itu. Berdemokrasi dan melawan ketidakadilan merupakan musuh kaum-kaum ratu raja yang pada saat itu masih mendominasi kursi pemerintahan. Sosok Moân Djong yang gagah nan perkasa saat itu, bersikukuh melawan dan merubuhkan sisa-sisa kekuasaan Feodal ratu raja dengan tongkat estafet kerajaan yang masih berdiri tegak.

Moân Djong, dengan usaha dan upayanya, lantas memberanikan diri bersama beberapa kawannya untuk mendirikan sebuah organisasi berbasis etnis yang diberi nama KANILIMA, organisasi ini meliputi sub etnis KangaE, Nita, Lio, dan Maumere. Maksudnya, agar keempat wilayah ini dapat keluar dan bebas mencari angin segar demokrasi dari kurungan dan belenggu kekuasaan Feodal ratu raja. Ia ingin mewujudkan keadilan sosial yang benar-benar adil dan bermartabat, serta memperjuangkan demokrasi modern. Moân Djong, seorang pengagum sistem sosialisme, tetapi bergabung dalam partai politik PNI bukan PKI. Ia tahu akan keberadaan PKI di Indonesia. Ia hanya sekadar menerimanya sebagai simbol pembaharuan dan perubahan menuju hidup yang lebih baik, tetapi tidak masuk dan terlibat langsung dalam partai yang mengatut sistem komunisme itu.

Pada masa itu siapa saja yang menghendaki perubahan, modern demokratis, dianggap melawan Raja dan Gereja( yah, karena otoritas Gereja pro-Feodal, didalam gereja ada raja dan didalam raja ada gereja). Sosok Moan Djong, layak disematkan sebagai seorang pejuang demokrasi yang “Aru watu, ala mangan”(keras kepala) --artinya tetap pada pendirian yang merupakan panggilan jiwa-- lewat orasi-orasi pega sang disetiap kampung. Tak dipungkiri ada sebagian rakyat yang mencap Moan Djong sebagai seorang pembangkang (atas) “sang-yang mulia paduka raja”. Perjuangan demokrasi modern versi Moân Djong ternyata tidak berjalan lancar, sepertinya usahanya dihalangi oleh kaum feodal man memek (lidah lembut) yang masih ingin berkuasa, menghisap dan memeras keringat rakyatnya. Lawan politik Moân Djong adalah jelas, yakni, kaum “darah biru” dimasa itu. Saking pekat warna darah yang biru, rupanya mereka tidak pernah lihat apalagi tahu model dan bentuk darah kaum sudra-papa yang berwarna merah. Dari ketidaktahuan inilah mereka berupaya untuk melakukan trik politik “kutu lěba”(tuduhan tanpa bukti) terhadap lawan, yakni Moân Djong sebagai polititisi yang meyaingi. Akhirnya, mereka dapat melihat warna darah yang merah, darah seorang pejuang kaum sudra-papa dan bintang politik kala itu. Moân Djong yang bukan “berdarah biru” ini kemudian dijadikan target, sebagai tumbalnya. Yah, tumbal agar tetap mempertahankan eksistensi feodalisme dan pelanggengan hegemoni kekuasaan mereka. Kaum feodal itu licik, dengan model politik waen toën (muka belakang). Selicik-liciknya, darah yang tumpah pun dianggap halal, meski disuatu sisi suka berkoar-koar menegakan ajaran kasih. Yah, kasih yang mematikan, kasih yang tidak mengingini adanya perbedaan pendapat dan pandangan.

Pada akhir tahun 65, isu pembantaian terhadap anggota PKI di pulau Jawa, telah sampai ketelinga warga Maumere. Melalui media surat kabar, mereka mengetahui apa yang terjadi diluar sana. Tepat pada Februari 1966, Komandan Militer-KOMOP di Maumere bersekutu dengan para politisi-feodal di kota itu, mengajak masuk dan bergabung dalam barisan mereka untuk menumpas habis lawan politik mereka diantaranya para terduga anggota dan simpatisan PKI. Apakah benar Moan Djong adalah anggota PKI ?, atau hanya korban politik busuknya kaum feodal ?, apa tindakan Gereja Katolik saat itu ? bagaimana cara gereja menangani krisis kemanusiaan kala itu ?
Diceritakan, pada 1 maret 1966, hari itu menjadi akhir dari riwayat hidup Moan Djong, dan beberapa pengikutnya. Pria kelahiran Hewokloang itu, menghembuskan nafas terakhirnya setelah melalui beberapa model penyiksaan. Mereka dipukul dan dianiaya dengan cara yang keji. Menurut keterangan cerita, pada waktu itu Ia dan beberapa pengikutnya ditangkap dikediamanya masing-masing, selain Moân Djong, ada beberapa teman dan saudaranya yang setia mendampinginya kemanapun ia bepergian, mereka adalah Moân Loreng, Moân Kiok, Moân Kaok (ketiganya adalah putra kandung Moan Laro, asal rumpun-suku Lepo Kirek, Hewokloang), adapula Moan Tua dan masih ada beberapa lagi. Mereka ditangkap, diikat dan disiksa, kemudian dinaikan(digotong dan dicampak) keatas mobil bak terbuka. Sesampainya di kota, mereka dimasukan dalam ruangan sel, dan itupun tidak luput dari siksaan kejam.

Diceritakan pula bahwa sebelum akhir hayatnya, Moan Djong sempat meminta kepada seorang Pastor yang sedang menunggu di luar pintu gerbang rutan untuk menerima absolusi pengampunan “Kompesa”, tapi permintaanya tidak diindahkan, bahkan terkesan ditolak mentah-mentah. Ada apa gerangan ? bukankah itu tugas dan kewajiban seorang imam Katolik untuk memberikan Kompesa kepada seorang peniten? saking ngefansnya kepada raja, secara tidak langsung otaknya dicuci, bahkan berani melenceng dari ajaran dan hukum gereja katolik. Meskipun tidak semua imam berkelakuan seperti ini, namun ada  imam yang bagi saya(pribadi) menghalalkan darah manusia untuk dicurahkan, mungkin dalam benak mereka, seorang pejuang pembaharuan, yang seberang pendapat dengan mereka, pantas dan layak untuk disingkirkan. Berbeda dengan seorang pastor di paroki Bola yang saat itu berani untuk bersaksi, melakukan berbagai macam pendekatan kemudian membebaskan umatnya dari ambang pintu kematian. Perlu diketahui bahwa Gereja Katolik di Maumere saat itu menjalin relasi yang sangat dekat dengan kaum aristokrat-kerajaan, rupanya mereka seiring, sejalan, seiya dan sekata. Menuduh tanpa bukti yang jelaspun dilakukan. Ribuan korban jiwa dibantai dan dipenggal, tetapi gereja saat itu seolah-olah Lebe tilun klape matan (pura-pura bisu dan tuli). Gereja yang sejatinya mengajarkan kasih “Nao donen naruk megu moõng”dengan seketika balik haluan dan berubah menjadi duě ‘lupa matan manuk(tidur dengan mata belalakan). Apakah karena diberi obat tidur oleh tuan paduka, untuk tidur lebih lama ? ataukah memang saat itu posisinya sedang ngantuk berat ? saya sendiri tidak yakin, dan akan terus menjadi pertanyaan besar, mengapa kok sampai segitunya, tega amat ?

Pembantaian masal terhadap ratusan ribu korban di Indonesia, dan khususnya ribuan korban di Maumere, merupakan bentuk penghancuran eksistensi serta menstigmatisasi “korban” sebagai manusia terkutuk yang patut disingkirkan. Tidak diragukan lagi bahwa kejadian itu merupakan satu dari sekian banyak kejahatan terbesar terhadap umat manusia pada abad ke-20. Para korban harus dipandang sebagai korban, bukan sebagai manusia terkutuk. Mereka mengalami berbagai macam kekerasan fisik bahkan berujung pada kematian, namun pula menyisahkan kepedihan dan tekanan psikis pada keluarga yang ditinggalkan. Bahkan tidak bisa dipungkiri kejadian kala itu masih dirasakan sampai saat ini ketika benak tertuju pada memori kelam itu. Sudah setengah abad lebih, telah berlalu namun Bayang-bayang siksaan itu, selalu melintas dalam pikiran sanak saudara korban.
Kita sekarang hidup dalam masa enaknya demokrasi(bebas berpendapat dalam sudut pandang dan alam pikiran pribadi) meskipun tidak terlalu manis, karena masih saja ada penindasan-penindasan yang tidak secara langsung membantai fisik, tetapi lebih kepada hal-hal yang bersifat verbal. Maka dari itu, saya sendiri berupaya untuk melawan lupa(lopa klibur) atas kejadian ini, dan mengajak generasi muda Krowe, Maumere, untuk mundur dan sejenak menoleh kebelakang, sembari merenungkan dan boleh membayangkan tragedi 65-66 dalam relung hati dan diri masing-masing. Saya bukan (tidak) bermaksud untuk menghasut atau mengadu domba, saya hanya sekadar membangunkan sejarah yang selama ini mati suri, karena banyak masyarakat yang takut membicarakan kembali. Rupanya kisah piluh ini membuat sebagian masyarakat kita mengalami trauma berat dan pura-pura amnesia, lantas mengalami sesuatu yang menurut saya itu semacam phobyagestapu (takut membicarakan kejadian 65). Jika masih ada orang yang menutup rapat dan mengunci sejarah kelam ini, itu hanya menambah luka sukma dan siksa batin. Marilah kita sebagai generasi Nian tanah, jauhi sikap sirik dengki, berlakulah secara adil dan bijaksana dalam menyikapi masalah, menoleh kebelakang bukan berarti nasib kita akan seperti para korban. Akhirnya, saya mengucapkan limpah terimakasih sembari memohon maaf kepada korban dan keluarga korban(yang mungkin ikut membaca tulisan saya), semoga Tuhan mengampuni kita.

Mai ita ali, abo papa kěwe, naruk ha gun, mole nulun, ali abo wawa lian leman, leda lëu reta garan gahar. Hama lëu wawa wa’in ‘epak, suwur leù reta ala uwung. Kama tena huk unen galek waten, lopa klibur baler, hulir hewot, lopa ‘lupa matan manuk,  loning mein di ba dun ba’a, etan di gogo hërat nan. Ata biän ‘loën biän, higi mitan here meran, mein ba’it ganu plea ganu klegang, ëtan belar ganu roho ganu tolen, ganu pere ganu patar, ganu pere patar hading, pire au pelat nora wa’in ta’i, glaran au hido nora liman miâk. Kama hugu wawa poi huk, telan reta dena galeng, huk tuki wawa tanah, telan galeng lëro wulan. Kama ble’o poi mora toger, menong kama mora waen. Dena lëku unen kloda, near nain woer, ia na unen kirek, waten kelan, kelan naga sawaria. Ita gete ata duâ men, gahar ata moan pun. 'Epan gawan.


Sumber, Referensi :
Murder in maumere, postcolonial citizenship, Gerry van Klinklen / https://pure.uva.nl/ws/files/2689240/166065_488121.pdf

Buku Fraz Magnis, kebangsaan, demokrasi, pluralism, halaman 216-221.

Senin, 02 Oktober 2017

Menapak Tilas Tarian Lori Lolo, di Hewokloang.

“LORI LOLO”
KEMENANGAN di-ATAS DERITA


Penulis  : Roby Kristian
sumber foto, Y. Bastyan Brown


Sekilas Tentang Lori Lolo

Apa itu Lori Lolo ?
Lori Lolo adalah tarian tradisional yang masuk dalam kategori rangkaian tarian perang, yang berasal dari kampung adat Hewokloang, Maumere-Flores. Lori lolo merupakan bentuk dari euvoria kemenangan masyarakat Hewokloang  usai menang dalam pertempuran antar kampung tetangga. Tarian ini dibawakan oleh penari pria maupun wanita dengan mengenakan pakayan kebesaran bercirikan pahlawan dan dilengkapi dengan senjata tajam berupa tombak, panah, parang, dan perisai. Dalam pertunjukan tari ini mereka menari dengan gerakan- gerakan yang menggambarkan jiwa pahlawan dan sosok ksatria yang sedang berlaga di medan pertempuran. Tarian lori lolo jarang dipentaskan dan hanya boleh dipertunjukan pada event-event tertentu saja, seperti pesta budaya dan menjelang 17 Agustus-an.
Berbicara tentang Lori Lolo, tentu tidak terlepas dari asal muasal dan akar kata Lori dan Lolo itu sendiri. Lori artinya            berjalan santai dan lolo sendiri berarti merangkak. Lolo pada dasarnya diidentikan dengan binatang melata, seperti ular, kadal, lipan dan kaki seribu. Akan tetapi, dalam konteks ini Lori Lolo yang dipahami ,merupakan tarian dengan gaya gerak maju mundur yang santai sambil mengayunkan kedua tangan sembari melantunkan syair-syair kegembiraan dan semboyan kahe yang diwakili oleh beberapa clan-marga-rumpun “Lepo pitu” yang secara langsung melibatkan peran tujuh rumpun asal kampung Hewokloang.

Asal muasal Lori Lolo
Belum  diketahui secara jelas semenjak kapan ada tarian ini, tetapi jika dilihat dari latar belakang sejarah perjuangan natar Hewokloang dapat dipastikan bahwa tarian ini berasal dari tanah “Lëga Gëte”, Hewokloang. Merujuk pada bukti sejarah,dan penuturan lisan turun-temurun diceritakan bahwa pada abad 16-17 sering terjadi perang tanding antar kampung tetangga yang dipicu oleh masalah klaim tanah adat, perebutan batas ulayat dan politik licik orang Hewokloang yang berambisi menduduki wilayah yang bukan merupakan miliknya.diceritakan bahwa Sebelum berangakat ke medan perang, para tetuah kampung melakukan upacara dan ritual,  memohon campur tangan dan dukungan alam-leluhur serta warna warni gaib agar terhindar dari bahaya perang, dengan ilmu Kobon(kebal) sehingga selamat dalam pertempuran. dengan melibatkan tujuh rumpun yang ada di kampung ini, para panglima dan prajuritnya dikukuhkan dan diberi ilmu ketangkasan dalam wujud wuä supak ai tali, plupi haput touk tëman (seperangkat batu jimat yang diyakini sebagai ilmu kebal). Ritual ini pun sama dilakukan ketika para ksatria kembali dari medan perang. Ketika mereka pulang dan mulai memasuki gerbang utama kampung, mereka akan disambut dengan tarian Glebak diselingi dengan semboyan Kahe dan diarak menuju ke tengah kampung untuk berpesta pora dan bergembira ria diringi dengan bunyi gong waning dan tari Lori Lolo.

Hewokloang merupakan sebuah kampung adat yang terletatak di bagian wilayah timur kota Maumere, bukit Hewokloang berada persis ditengah antara pantai selatan dan utara. Kampung ini diapiti oleh dua gunung mungil – ladat dan hawuat – persisnya dibawah kaki bukit Weronamang (bukit yang dihuni oleh ribuan ekor kera). Kampung Hewokloang masih sangat kental dengan budaya, dan adat istiadat  terdapat istanah-istanah suku yang berjejer rapih membentang dari selatan ke utara. Ada tujuh rumah suku induk atau yang dikenal dengan Lepo Pitu dan beberapa rumah suku lain yang merupakan anak-pinak dari ketujuh lepo induk ini. 

Next : klikdisini https://www.google.com/adsense/start/images/home/in-control-section-tablet_1x.png