Pejuang KANILIMA - Tumbal Kaum Elit
Penulis : Roby Kristian
 |
sumber : google, (jangan lupa) |
Sejarah kelam masa lampau di Indonesia pada tahun 65-66 turut dirasakan juga oleh masyarakat Indonesia timur, termasuk di Maumere, Kabupaten Sikka. Generasi milenial mungkin kurang tahu siapa saja dan mengapa ada pembantaian pada masa 65-66 di Maumere. Sebegitu keji dan kejamnya rezim orde baru, menumpas tuntas orang-orang yang terlibat PKI, bahkan yang baru terduga-dicurigai pun dibasmi habis. Patut kita akui bahwa, masa-masa kelam(65-66) itu merupakan kisah piluh nan tragis yang mengotori wajah bangsa Indonesia dimata dunia. Bagai ditusuk duri dan diretas sembilu, ketika kembali menapak tilas sejarah masa itu, masa dimana krisis kemanusiaan terbesar pernah terjadi. Orang-orang yang tak bersalah ditumpas habis, aroma darah pun masih terhirup bahkan sampai masuk dan menusuk hati sanubari. Mereka dianggap sebagai musuh Negara yang layak disingkirkan, layak digorok, dipenggal dan layak dibantai. Tapi itulah bukti bahwa takhta kekuasaan membutakan mata hati nurani dan menggelapkan rasa belas kasih. Nyata bahwa, kekuasaan menjadi tonggak utama yang melatarbelakangi semua itu.
Adalah seorang Yohanes (Jan) Djong, yang kerap dikenal dengan panggilan akrab Moân Kapitang Djong oleh masyarakat. Ia lahir di Hewokloang, Djong kecilpun menghabiskan waktunya di kampung ini bersama ayahnya Moân Kao, dan ibunya Duâ Kotin (Katar). Ia adalah putra asli rumpun Lepo gai yang sangat disegani masyarakat pada zaman itu. Demikian pula, saudaranya, Moân Djěle, juga sangat disegani oleh karena kebijakan-kebijakannya. Moân Djěle sering diundang untuk menyajikan materi dan wejangan-wejangan atau dalam bahasa setempat disebut Nao donen, pega sang. Moân Djong adalah seorang kepala wilayah, kecamatan Kewapante, sekaligus mantan anggota DPRD(perwakilan etnis) kabupaten Sikka, pasca Indonesia merdeka. Akan tetapi, kemerdekaan hakiki belum dirasakan secara nyata oleh masyarakat kala itu. Berdemokrasi dan melawan ketidakadilan merupakan musuh kaum-kaum ratu raja yang pada saat itu masih mendominasi kursi pemerintahan. Sosok Moân Djong yang gagah nan perkasa saat itu, bersikukuh melawan dan merubuhkan sisa-sisa kekuasaan Feodal ratu raja dengan tongkat estafet kerajaan yang masih berdiri tegak.
Moân Djong, dengan usaha dan upayanya, lantas memberanikan diri bersama beberapa kawannya untuk mendirikan sebuah organisasi berbasis etnis yang diberi nama KANILIMA, organisasi ini meliputi sub etnis KangaE, Nita, Lio, dan Maumere. Maksudnya, agar keempat wilayah ini dapat keluar dan bebas mencari angin segar demokrasi dari kurungan dan belenggu kekuasaan Feodal ratu raja. Ia ingin mewujudkan keadilan sosial yang benar-benar adil dan bermartabat, serta memperjuangkan demokrasi modern. Moân Djong, seorang pengagum sistem sosialisme, tetapi bergabung dalam partai politik PNI bukan PKI. Ia tahu akan keberadaan PKI di Indonesia. Ia hanya sekadar menerimanya sebagai simbol pembaharuan dan perubahan menuju hidup yang lebih baik, tetapi tidak masuk dan terlibat langsung dalam partai yang mengatut sistem komunisme itu.
Pada masa itu siapa saja yang menghendaki perubahan, modern demokratis, dianggap melawan Raja dan Gereja( yah, karena otoritas Gereja pro-Feodal, didalam gereja ada raja dan didalam raja ada gereja). Sosok Moan Djong, layak disematkan sebagai seorang pejuang demokrasi yang “Aru watu, ala mangan”(keras kepala) --artinya tetap pada pendirian yang merupakan panggilan jiwa-- lewat orasi-orasi pega sang disetiap kampung. Tak dipungkiri ada sebagian rakyat yang mencap Moan Djong sebagai seorang pembangkang (atas) “sang-yang mulia paduka raja”. Perjuangan demokrasi modern versi Moân Djong ternyata tidak berjalan lancar, sepertinya usahanya dihalangi oleh kaum feodal man memek (lidah lembut) yang masih ingin berkuasa, menghisap dan memeras keringat rakyatnya. Lawan politik Moân Djong adalah jelas, yakni, kaum “darah biru” dimasa itu. Saking pekat warna darah yang biru, rupanya mereka tidak pernah lihat apalagi tahu model dan bentuk darah kaum sudra-papa yang berwarna merah. Dari ketidaktahuan inilah mereka berupaya untuk melakukan trik politik “kutu lěba”(tuduhan tanpa bukti) terhadap lawan, yakni Moân Djong sebagai polititisi yang meyaingi. Akhirnya, mereka dapat melihat warna darah yang merah, darah seorang pejuang kaum sudra-papa dan bintang politik kala itu. Moân Djong yang bukan “berdarah biru” ini kemudian dijadikan target, sebagai tumbalnya. Yah, tumbal agar tetap mempertahankan eksistensi feodalisme dan pelanggengan hegemoni kekuasaan mereka. Kaum feodal itu licik, dengan model politik waen toën (muka belakang). Selicik-liciknya, darah yang tumpah pun dianggap halal, meski disuatu sisi suka berkoar-koar menegakan ajaran kasih. Yah, kasih yang mematikan, kasih yang tidak mengingini adanya perbedaan pendapat dan pandangan.
Pada akhir tahun 65, isu pembantaian terhadap anggota PKI di pulau Jawa, telah sampai ketelinga warga Maumere. Melalui media surat kabar, mereka mengetahui apa yang terjadi diluar sana. Tepat pada Februari 1966, Komandan Militer-KOMOP di Maumere bersekutu dengan para politisi-feodal di kota itu, mengajak masuk dan bergabung dalam barisan mereka untuk menumpas habis lawan politik mereka diantaranya para terduga anggota dan simpatisan PKI. Apakah benar Moan Djong adalah anggota PKI ?, atau hanya korban politik busuknya kaum feodal ?, apa tindakan Gereja Katolik saat itu ? bagaimana cara gereja menangani krisis kemanusiaan kala itu ?
Diceritakan, pada 1 maret 1966, hari itu menjadi akhir dari riwayat hidup Moan Djong, dan beberapa pengikutnya. Pria kelahiran Hewokloang itu, menghembuskan nafas terakhirnya setelah melalui beberapa model penyiksaan. Mereka dipukul dan dianiaya dengan cara yang keji. Menurut keterangan cerita, pada waktu itu Ia dan beberapa pengikutnya ditangkap dikediamanya masing-masing, selain Moân Djong, ada beberapa teman dan saudaranya yang setia mendampinginya kemanapun ia bepergian, mereka adalah Moân Loreng, Moân Kiok, Moân Kaok (ketiganya adalah putra kandung Moan Laro, asal rumpun-suku Lepo Kirek, Hewokloang), adapula Moan Tua dan masih ada beberapa lagi. Mereka ditangkap, diikat dan disiksa, kemudian dinaikan(digotong dan dicampak) keatas mobil bak terbuka. Sesampainya di kota, mereka dimasukan dalam ruangan sel, dan itupun tidak luput dari siksaan kejam.
Diceritakan pula bahwa sebelum akhir hayatnya, Moan Djong sempat meminta kepada seorang Pastor yang sedang menunggu di luar pintu gerbang rutan untuk menerima absolusi pengampunan “Kompesa”, tapi permintaanya tidak diindahkan, bahkan terkesan ditolak mentah-mentah. Ada apa gerangan ? bukankah itu tugas dan kewajiban seorang imam Katolik untuk memberikan Kompesa kepada seorang peniten? saking ngefansnya kepada raja, secara tidak langsung otaknya dicuci, bahkan berani melenceng dari ajaran dan hukum gereja katolik. Meskipun tidak semua imam berkelakuan seperti ini, namun ada imam yang bagi saya(pribadi) menghalalkan darah manusia untuk dicurahkan, mungkin dalam benak mereka, seorang pejuang pembaharuan, yang seberang pendapat dengan mereka, pantas dan layak untuk disingkirkan. Berbeda dengan seorang pastor di paroki Bola yang saat itu berani untuk bersaksi, melakukan berbagai macam pendekatan kemudian membebaskan umatnya dari ambang pintu kematian. Perlu diketahui bahwa Gereja Katolik di Maumere saat itu menjalin relasi yang sangat dekat dengan kaum aristokrat-kerajaan, rupanya mereka seiring, sejalan, seiya dan sekata. Menuduh tanpa bukti yang jelaspun dilakukan. Ribuan korban jiwa dibantai dan dipenggal, tetapi gereja saat itu seolah-olah Lebe tilun klape matan (pura-pura bisu dan tuli). Gereja yang sejatinya mengajarkan kasih “Nao donen naruk megu moõng”dengan seketika balik haluan dan berubah menjadi duě ‘lupa matan manuk(tidur dengan mata belalakan). Apakah karena diberi obat tidur oleh tuan paduka, untuk tidur lebih lama ? ataukah memang saat itu posisinya sedang ngantuk berat ? saya sendiri tidak yakin, dan akan terus menjadi pertanyaan besar, mengapa kok sampai segitunya, tega amat ?
Pembantaian masal terhadap ratusan ribu korban di Indonesia, dan khususnya ribuan korban di Maumere, merupakan bentuk penghancuran eksistensi serta menstigmatisasi “korban” sebagai manusia terkutuk yang patut disingkirkan. Tidak diragukan lagi bahwa kejadian itu merupakan satu dari sekian banyak kejahatan terbesar terhadap umat manusia pada abad ke-20. Para korban harus dipandang sebagai korban, bukan sebagai manusia terkutuk. Mereka mengalami berbagai macam kekerasan fisik bahkan berujung pada kematian, namun pula menyisahkan kepedihan dan tekanan psikis pada keluarga yang ditinggalkan. Bahkan tidak bisa dipungkiri kejadian kala itu masih dirasakan sampai saat ini ketika benak tertuju pada memori kelam itu. Sudah setengah abad lebih, telah berlalu namun Bayang-bayang siksaan itu, selalu melintas dalam pikiran sanak saudara korban.
Kita sekarang hidup dalam masa enaknya demokrasi(bebas berpendapat dalam sudut pandang dan alam pikiran pribadi) meskipun tidak terlalu manis, karena masih saja ada penindasan-penindasan yang tidak secara langsung membantai fisik, tetapi lebih kepada hal-hal yang bersifat verbal. Maka dari itu, saya sendiri berupaya untuk melawan lupa(lopa klibur) atas kejadian ini, dan mengajak generasi muda Krowe, Maumere, untuk mundur dan sejenak menoleh kebelakang, sembari merenungkan dan boleh membayangkan tragedi 65-66 dalam relung hati dan diri masing-masing. Saya bukan (tidak) bermaksud untuk menghasut atau mengadu domba, saya hanya sekadar membangunkan sejarah yang selama ini mati suri, karena banyak masyarakat yang takut membicarakan kembali. Rupanya kisah piluh ini membuat sebagian masyarakat kita mengalami trauma berat dan pura-pura amnesia, lantas mengalami sesuatu yang menurut saya itu semacam phobyagestapu (takut membicarakan kejadian 65). Jika masih ada orang yang menutup rapat dan mengunci sejarah kelam ini, itu hanya menambah luka sukma dan siksa batin. Marilah kita sebagai generasi Nian tanah, jauhi sikap sirik dengki, berlakulah secara adil dan bijaksana dalam menyikapi masalah, menoleh kebelakang bukan berarti nasib kita akan seperti para korban. Akhirnya, saya mengucapkan limpah terimakasih sembari memohon maaf kepada korban dan keluarga korban(yang mungkin ikut membaca tulisan saya), semoga Tuhan mengampuni kita.
Mai ita ali, abo papa kěwe, naruk ha gun, mole nulun, ali abo wawa lian leman, leda lëu reta garan gahar. Hama lëu wawa wa’in ‘epak, suwur leù reta ala uwung. Kama tena huk unen galek waten, lopa klibur baler, hulir hewot, lopa ‘lupa matan manuk, loning mein di ba dun ba’a, etan di gogo hërat nan. Ata biän ‘loën biän, higi mitan here meran, mein ba’it ganu plea ganu klegang, ëtan belar ganu roho ganu tolen, ganu pere ganu patar, ganu pere patar hading, pire au pelat nora wa’in ta’i, glaran au hido nora liman miâk. Kama hugu wawa poi huk, telan reta dena galeng, huk tuki wawa tanah, telan galeng lëro wulan. Kama ble’o poi mora toger, menong kama mora waen. Dena lëku unen kloda, near nain woer, ia na unen kirek, waten kelan, kelan naga sawaria. Ita gete ata duâ men, gahar ata moan pun. 'Epan gawan.
Sumber, Referensi :
Buku Fraz Magnis, kebangsaan, demokrasi, pluralism, halaman 216-221.